![]() |
Gambar: Taufik, Ketua Ikatan Pelajar Mahasiswa Maidi |
Morotainews.com - Tidore - Ikatan Pelajar Mahasiswa Maidi (IPMMA) mempertanyakan komentar Kepala Dinas PUPR Tikep yang menyebut keterlambatan pembangunan jalan Maidi yang di kerjakan CV. Pilar Nusantara Primia. IPMMA menilai pernyataan- pernyataan subjektif mengenai kedaan alam dan bahkan mendiskreditkan masyarakat Desa Maidi dengan menyebut persoalan kecelakanan lalu lintas sebagai penyebab keterlabatan adalah penghinaan karena menganggap pasca kejadian laka lantas tersebut masyarakat Maidi membahayakan para pekerja, IPMMA menyebut pernyataan dari Kepala Dinas PUPR tersebut mencerminkan ketidakmampuan Pemkot dalam menyaring SDM berkualitas untuk menduduki jabatan sevital dinas PUPR.
“Kami mengutuk keras pernyataan Abdul Muis Husein yang dengan narasi subjektifnya menjustifikasi seolah-olah kecelakan yang melibatkan kendaraan proyek PT. Intimkara dengan dua orang pelajar Desa Maidi menjadi penyebab keterlambatan pembangunan, dengan menyebutkan Kami sebagai keluarga korban melakukan pengancaman dan meneror para pekerja, itu sama sekali tidak benar, kami bahkan menyayangkan ada pejabat publik yang mengeluarkan pernyataan menyesatkan semacam itu. Secara tidak langsung Kadis PUPR telah mendikreditkan Masyarakat Desa Maidi sebagai orang-orang yang tidak mengerti Hukum, padahal kejadian ini sepenuhnya kami serahkan kepada pihak penegak hukum. Kami tegaskan tidak ada kerusuhan ataupun tindakan represif masyarakat pasca kejadian laka lantas tersebut hingga hal itu tidak bisa nyatakan sebagai force majure, sebab dalam definisinya force majure semacam itu harusnya berupa peristiwa kerusuhan.” ungkap Taufik
Taufik juga menyoroti keterlambatan proyek yang di kerjakan oleh CV. Pilar Nusantara Prima yang berdasrkan keterangan Kadis PUPR Tikep yang menyebut bahwa keterlambatan pembangunan karena ada kedaan Kahar atau keadaan memaksa atau situasi lapangan di luar prediksi manusia. “Force Majure yang di sebutkan Kadis PUPR lewat komentarnya di beberapa media online mencerminkan ketidak pahaman seorang pejabat publik terhadap ketentuan Force Majure dalam Undang-undang nomor 2 Tahun 2017, karena distribusi material bisa di lakukan melalalui akses lain, dan akses darat menuju ke Kecamatan Oba Selatan memang sejak dulu sudah rusak parah, baik dari kondisi jembatan yang sudah tua dan tidak layak di lalui kendaraan berat hingga jalanan sempit yang tentu beresiko terhadap kecelakaan serta keselamatan pekerja saat melakukan pengakutan material maupun mobilisasi alat. Artinya terputusnya akses darat kurang lebih 7 hari tersebut bukannya alasan yang dapat di terima secara hukum. Karena force majure sesuai dengan penafsiran Undanng-undang jelas bahwa bencana alam di maksud adalah bencana alam berkepanjangan, dan tidak ada akses lain sama sekali, belum lagi alasan hujan yang bagi kami sebuah alasan yang sangat tidak akadimis di keluarkan oleh seorang pejabat publik selevel kepala dinas PUPR Tikep.”
Taufik juga mempertanyakan sikap Dinas PUPR yang mendiamkan kontrak hingga hari ini belum ada kelanjutan pekerjaan
“Bagi kami jelas bahwa di dalam LKPP Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Melalui Penyedia menyebutkan beberapa terminologi penghentian dan pemutusan kontrak. Pemutusan kontrak yang kami maksud adalah penghentian kontrak yang terjadi karena keadaan Kahar; Pengehentian kontrak karena keadaan kahar di lakukan secara tertulis oleh pejabat penandatanganan kontrak (PPK), pengehentian kontrak karena keadaan kahar dapat bersifat; satu, sementara hingga keadaan kahar berakhir dan yang kedua, permanen apabila akibat keadaan kahar tidak memungkinkan dilanjutkan/diselesaikan pekerjaannya. Dalam hal kontrak di hentikan karena keadaan kahar, Pejabat Penandatanganan Kontrak (PPK) wajib membayar kepada penyedia sesuai dengan kemajuan hasil pekerjaan setelah di lakukan pemeriksaan bersama atau berdasarkan hasil audit. Bagi kami langkah-langka seperti ini yang harus dilakukan oleh Dinas PUPR Tikep sebagai Pejabat Penandatanganan Kontrak, faktanya hari ini berbeda, Dinas PUPR Tikep sebagai PPK malah mendiamkan kontrak yang sudah tiga bulan seharusnya berakhir tapi pekerjaannya belum tuntas. Hal ini yang rencanannya kami bawa ke Bidang Tindak Pidana Khusus Kejati Malut, pelanggarannya termaksud dalam PP Nomor 12 Tahun 2021 tentang pengadaan barang dan jasa. Kami menduga ada kongkalikong di balik sikap Dinas PUPR Tikep yang mendiamkan kontrak selama kurang lebih tiga bulan terakhir.” Sambungnya
Taufik juga menyayangkan ketidak cermatan Dinas PUPR Tikep dalam membaca situasi semacam ini, apalagi ini sumber anggarannya dari Dana Alokasi Khusus, “Seharusnya Kepala Dinas lebih certmat melihat syarat-syarat umum dan syarat-syarat khusus kontrak, apabila terjadi keterlambatan maka harusnya kontraktor sudah di berikan sanksi berupa denda keterlambatan pekerjaan.
Karena dari beberapa regulasi tentang kontrak mulai dari Perpres tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, LKPP terkait syarat-syarat kontra Kementerian Keuangan RI tentang Pemutusan Kontrak yang di teruskan ke BPK RI, dan Kenterian dalam Negeri yang mengatur tentang penggunaan Dana Alokasi Khusu (DAK), yang menegaskan bahwa apa bila di mungkinkan adanya luncuran dana pada tahun berikut tanpa merubah masa pelaksanaan kontrak maka seharusnya rekanan sudah di kenakan denda keterlambatan dengan nilai perhari adalah 1/1000 x nilai kontrak di mulai dari akhir kontrak sampai saat berakhirnya pekerjaan, sebagai penegasan bahwa kesempatan di berikan kepada kontraktor maksimal hanya 90 hari, dan ini menjadikan kami semakin yakin atas dugaan pekerjaan ini bermasalah dari awal hingga akhir.” Tutup Taufik.