Gambar: Vinot Aktivis Jakarta |
Morotainews.com - Malut - Memilihan Gubernur Maluku Utara pada 27 November 2024 adalah sebuah momentum historis yang tidak hanya merefleksikan dinamika politik kontemporer, tetapi juga merupakan manifestasi dari perjuangan panjang rakyat Moloku Kie Raha melawan ketimpangan struktural. Muhammad Nofit Latara, atau yang lebih dikenal sebagai Vinot, Koordinator Pusat Mahasiswa Maluku Utara Jakarta-Jawa, dengan tegas menyerukan dukungan kepada Sultan Tidore, Husain Alting Sjah. Ia memandang kontestasi ini sebagai titik balik bagi Maluku Utara untuk merebut kembali kendali atas sumber daya dan masa depannya.
Vinot menempatkan kontestasi politik ini dalam konteks konflik antara basis material (ekonomi) dan suprastruktur (politik dan budaya). Maluku Utara, sebagai salah satu wilayah penghasil sumber daya tambang terbesar di Indonesia, selama ini berada dalam cengkeraman relasi produksi yang tidak adil. Kekayaan alam seperti emas dan nikel dieksploitasi oleh korporasi besar, sementara masyarakat lokal hanya menjadi penonton tanpa mendajpatkan manfaat signifikan.
Dalam pandangan Vinot, ketimpangan ini bukanlah fenomena yang berdiri sendiri, melainkan hasil dari relasi kuasa yang mengakar antara modal, negara, dan rakyat. Pemilihan Husain Alting Sjah dipandang sebagai peluang untuk menggeser dominasi tersebut, dengan menghadirkan pemimpin yang memiliki akar budaya dan komitmen terhadap kedaulatan rakyat.
"Kita harus memahami bahwa eksploitasi ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal penguasaan politik. Pemimpin yang memahami nilai-nilai adat seperti Sultan Tidore memiliki legitimasi untuk memutus rantai ketergantungan ini," ujar Vinot.
Sejarah panjang Moloku Kie Raha, mulai dari Sultan Baabullah yang mengusir Portugis hingga Sultan Nuku yang memimpin perlawanan terhadap penjajah Belanda, adalah bukti konkret bahwa masyarakat Maluku Utara memiliki tradisi perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Perjuangan ini adalah bentuk kontradiksi utama antara rakyat sebagai kelas subordinat dan kekuatan hegemonik yang terus berupaya menguasai sumber daya dan wilayah mereka.
Vinot menegaskan bahwa konteks hari ini memiliki kemiripan struktural dengan masa lalu. Jika dahulu penjajahan dilakukan melalui kekuatan militer, saat ini eksploitasi berlangsung melalui hegemoni ekonomi yang didukung oleh praktik politik transaksional. Pemilihan Husain Alting Sjah adalah upaya untuk mentransformasikan kontradiksi ini menjadi sebuah sintesis yang lebih adil dan berpihak pada rakyat.
"HAS KIE RAHA bukan hanya tentang sejarah, tetapi juga tentang masa depan. Pemimpin yang memahami akar budaya dan ekonomi daerah ini mampu menciptakan sintesis baru; kedaulatan rakyat atas sumber daya dan masa depan mereka," tegasnya.
Dalam dinamika sosial-politik Maluku Utara, kepemimpinan adat memiliki posisi strategis sebagai simbol kedaulatan lokal. Husain Alting Sjah, sebagai Sultan Tidore, membawa legitimasi historis dan kultural yang mampu menjadi antitesis terhadap praktik politik oligarkis yang selama ini mendominasi.
Vinot melihat bahwa pemimpin adat seperti Sultan Tidore tidak hanya memahami kebutuhan rakyat, tetapi juga memiliki kapasitas untuk merumuskan kebijakan yang berbasis pada keadilan distributif; ini adalah upaya untuk mengubah relasi produksi yang eksploitatif menjadi relasi yang lebih egaliter.
"Pemimpin seperti Sultan Tidore adalah representasi dari kelas rakyat yang selama ini terpinggirkan. Kepemimpinannya adalah simbol perlawanan terhadap oligarki dan kapitalisme yang merugikan kita," ungkap Vinot.
Dengan mengacu pada pendekatan historis, Vinot menegaskan bahwa perjuangan rakyat Maluku Utara tidak pernah terlepas dari dinamika material dan kesadaran kolektif yang tumbuh dari pengalaman panjang penindasan. Sejarah Moloku Kie Raha adalah sejarah keberanian untuk melawan penjajahan, baik dalam bentuk kolonialisme klasik maupun penjajahan modern yang muncul dalam wujud eksploitasi sumber daya.
Pemilihan Husain Alting Sjah, dalam pandangan Vinot, adalah bagian dari kontinuitas sejarah ini. Ia menyerukan agar rakyat Maluku Utara tidak terjebak dalam politik uang dan janji kosong, yang merupakan instrumen hegemoni kapitalistik untuk mempertahankan status quo.
"Kesadaran kolektif kita sebagai pewaris Moloku Kie Raha harus menjadi dasar dalam memilih. Ini bukan hanya soal siapa yang menjadi gubernur, tetapi juga tentang siapa yang mengontrol kekayaan dan masa depan daerah ini," katanya.
Vinot mengajak seluruh masyarakat Maluku Utara untuk memahami bahwa kontestasi politik ini adalah bagian dari perjuangan panjang mereka sebagai bangsa yang berdaulat. Pemilihan Husain Alting Sjah adalah langkah strategis untuk membangun sintesis baru, di mana kekayaan daerah tidak lagi menjadi milik segelintir elite, tetapi dikelola untuk kesejahteraan seluruh rakyat.
"HAS KIE RAHA adalah simbol perlawanan dan harapan. Dengan memilih Sultan Tidore, kita tidak hanya memilih seorang pemimpin, tetapi juga menegaskan kembali identitas kita sebagai bangsa yang berani dan berdaulat. Ini adalah saatnya kita memimpin diri kita sendiri," pungkas Vinot.
Momentum ini, menurut Vinot, adalah kesempatan untuk merebut kembali kendali atas masa depan Maluku Utara, dengan menjadikan rakyat sebagai aktor utama dalam sejarah mereka sendiri. Di bawah kepemimpinan Husain Alting Sjah, Maluku Utara diharapkan memasuki era baru yang lebih adil, bermartabat, dan berdaulat.