Gambar: PJ Ketua umum HMI Cabang jakarta pusat - Jakarta Utara |
Morotainews.com - Jakarta - HMI Cabang Jakarta Pusat-Utara nyatakan sikap menolak Revisi Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia atau revisi UU Polri.
Pernyataan tersebut merupakan respon atas Persetujuan DPR RI yang merevisi empat undang-undang sebagai usul inisiatif DPR yaitu revisi UU Kementerian Negara, UU Keimigrasian, UU TNI, dan UU Polri. Peresmian usulan RUU inisiatif DPR itu disahkan dalam Sidang Paripurna Ke-18 yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad di Ruang Rapat Paripurna DPR-RI, Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa (28/5/2024).
PJ Ketua Umum HMI Cabang Jakarta Pusat-Utara, Azzuhri Rauf mengungkapkan terdapat Lima Catatan terhadap kontroversi RUU Polri Mulai dari perluasan kewenangan, penyadapan, tidak memperkuat lembaga pengawasan, sampai bertambahnya usia pensiun yang dinilai berpotensi menambah masalah baru.
*Revisi UU Polri*
Sama seperti RUU lain yang dikritik publik, proses perumusan dan pembahasan RUU Polri minim partisipasi publik dalam substansinya. Setidaknya ada 5 hal yang penting dicermati dalam RUU Polri. Pertama, memperluas kewenangan Polri untuk juga melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap ruang siber yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih dan saling bertentangan dengan UU No. 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi.
Kedua, RUU Kepolisian juga menambahkan pasal mengenai perluasan kewenangan untuk melakukan penyadapan, dan perluasan kepada bidang Intelijen dan Keamanan (Intelkam) Polri. Perluasan itu memberi kewenangan Polri untuk melakukan penggalangan intelijen, yang dapat menyebabkan tumpang tindih kewenangan dengan Badan Intelijen Negara dan pengaturannya kabur karena absen UU khusus terkait penyadapan.
Ketiga, RUU Kepolisian tidak memperkuat dan menegaskan posisi serta kewenangan lembaga pengawas atau oversight terhadap Polri, seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Keempat, terkait masih diaturnya Pam Swakarsa. Kelima, bertambahnya batas usia pensiun.
Maka berkaitan dengan poin-poin tersebut, secara umum draft RUU Polri tidak menjawab masalah yang selama ini ada di institusi Polri. Justru banyak ketentuan dalam RUU tersebut berpotensi menambah masalah baru.
*Hasil Kajian*
Sebagai informasi, UU Subversi era orba kini telah dicabut lewat UU Nomor 26 Tahun 1999.
Misal Pasal 16A mengatur tugas Intelijen Keamanan (Intelkam) Polri, yakni menyusun rencana dan kebijakan di bidang Intelkam Polri sebagai bagian dari rencana kebijakan nasional. Lalu, melakukan penyelidikan, pengamanan, penggalangan intelijen, hingga deteksi dini untuk mengamankan kepentingan nasional. Aturan ini nantinya akan bertabrakan satu sama lain dengan aturan intelejen yang ada di BIN dan BAIS. Maka wajar jika publik menilai bahwa Polri akan menjadi Superbody Investigator yang memiliki kewenangan ekstra dan justru melampaui wewenang Polri saat ini khususnya penyadapan dan pengawasan terhadap masyarakat Sipil.
Hal ini tentu mengkhianati visi Reformasi yang menjaga kebebasan berpendapat dalam ruang lingkup Demokrasi. Masyarakat Indonesia ingin membangun sistem yang transparan dan akuntabel, di mana pemimpin negara bertanggung jawab atas tindakan mereka dan bekerja untuk kepentingan rakyat. Selain itu, perlindungan hak asasi manusia juga menjadi tujuan penting dalam Reformasi 1998.
Namun dengan adanya Revisi RUU Polri, kami menilai bahwa Polri akan cenderung memihak kepada elit, tidak komitmen terhadap tugas utamanya menjaga kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia, serta memicu adanya tindakan represif terhadap demokrasi sehingga Potensi lahirnya sistem atau Rezim Orde baru akan terjadi lagi pada era Kepemimpinan Nasional Prabowo-Gibran selaku Presiden dan Wakil Presiden.
Jika dilihat misalnya pada Pasal 16B ayat 1 menyebutkan kegiatan pengumpulan informasi dan bahan keterangan oleh Intelkam Polri atas permintaan kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau lembaga lainnya. Itu termasuk pemeriksaan aliran dana dan penggalian informasi. Lalu, dijabarkan juga soal sasaran sumber ancaman baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, termasuk ancaman dari orang yang sedang menjalani proses hukum.
Ancaman terhadap kepentingan dan keamanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup. Kemudian, huruf B menyebutkan, terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional.
Draf Pasal 16A dan B, merupakan kewenangan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sementara, Polri harus berpatokan dari KUHAP. Maka jelas bahwa Pasal ini tumpang tindih.
Oleh sebab itu, dengan adanya kegaduhan publik atas asumsi bahwa akan terjadi sentralisasi kekuasaan, mudah melakukan kontrol terhadap aktivitas dan kritik-kritik masyarakat sipil, maka potensi lahirnya Zombi Orde Baru melalui RUU Polri yang direvisi ini, HMI Cabang Jakarta Pusat-Utara dengan tegas menyatakan penolakannya.
"Revisi RUU Polri membawa spirit mengkudetaan UUS 2945. Sebab aturan terbaru ini akan jadi RUU represif yang menjadikan polri menjadi Superbody. Dimana lembaga pengawasan dilemahkan dan Polri diberikan kewenangan lebih yang cenderung menjadikan institusi kepolisian sebagai alat oligarki atau dinasti politik sehingga Pemerintah akan sulit dilawan kedepannya yang dilihat dari struktur-struktur hukum yang tersedia." Jelas Azzuhri Rauf. Jakarta, (06/06/2024).
Yang terakhir, PJ Ketua Umum HMI Cabang Jakarta Pusat-Utara menyatakan akan melakukan aksi unjuk rasa di Mabes Polri dan DPR RI untuk Mendesak tolak Revisi RUU Polri. Serta mengimbau dan mengajak kepada seluruh elemen masyarakat untuk menjadi control sosial atas segala kebijakan Pemerintah diakhir masa jabatannya.
Ia juga mengingatkan kepada Kapolri untuk fokus pada pembenahan institusi kepolisian sehingga kembali mendapat trust publik dengan memperbaiki sistem Kepolisian dan menyelesaikan kasus-kasus yang masih bermasalah seperti Pembunuhan Vina, importasi alat sadap dari Israel serta kasus Jampidsus yang dibuntuti Densus 88. Sebab semua belum ada kepastian hukum dan transportasi informasi yang jelas sehingga Situasi Nasional mengalami ketidak-kondusifan dan bukan malah terlibat dalam konspirasi politik praktis.