Morotainews.com - Jakarta - Mencuatnya berbagai kasus pelanggaran hukum oleh aparat kepolisian dari kasus Irjen Sambo hingga pemecatan tidak dengan hormat (PTDH) Kombes Edwin Hatorangan Hariandja mantan Kapolres Bandara Soetta akibat kasus penyalahgunaan Narkoba mendapatkan sorotan dari Koodinator Bidang (Koorbid) DPP KNPI Rasminto agar pemerintah segera melakukan reformasi Polri.
"Reformasi Polri jadi solusi terbaik dalam penataan kelembagaan Polri dan pemulihan citra institusi Korps Bhayangkara", kata Rasminto.
Menurut Rasminto terdapat beberapa hal pokok arah reformasi Polri yang jadi pekerjaan rumah.
"Pekerjaan rumah kedepan dalam melakukan arah reformasi Polri yang berkelanjutan. Bagaimana membangun aspek struktural Polri menjadi lembaga yang independen, lembaga yang tidak terdikotomi oleh kepentingan-kepentingan politik maupun kepentingan kekuasaan", kata Rasminto.
Bagi Rasminto penataan kelembagaan Polri merupakan selaras dengan arahan Presiden Joko Widodo yang perlu ditindaklanjuti oleh pimpinan Polri.
"Penataan kelembagaan Polri harus selaras dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk lebih mengutamakan penyederhanaan birokrasi yang proporsional, efektif, bersinergi serta berwibawa, sehingga mengacu pada Perpres No. 112 Tahun 2020 yang telah membubarkan 10 Lembaga pemerintah non Kementerian dengan pertimbangan efektifitas dan efisiensi. Jadi unit atau satuan-satuan dalam tubuh Polri yang tumpah tindih perlu ditiadakan jangan sampai jadi beban pajak rakyat", kata Rasminto.
Lebih lanjut Rasminto yang juga alumnus Doktoral Pascasarjana UNJ menekankan pentingnya mereform paradigma keamanan pada anggota Polri.
"Anggota Polri penting sekali merubah paradigma terminologi “keamanan” dalam ketatanegaraan Indonesia. Dimana pada Bab XII tentang pertahanan dan keamanan negara, khususnya poin c, dan juga UU Nomor 2/2002 tentang Polri menyebutkan bahwa Polri hanya pada Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) dalam konteks untuk keamanan dalam negeri, bukan keamanan yang bersifat luas", jelas Rasminto.
Bagi Rasminto terminologi "keamanan" sendiri menjadi satu kesatuan yang terpisahkan dari pertahanan itu sendiri dan ini jadi PR pembenahan aspek instrumental yang sangat urgen.
"Jelas ya pada Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 tersebut tidak memisahkan pertahanan dengan keamanan negara. Sementara yang dimaksud keamanan nasional sebagaimana terdapat dalam penjelasan UU Nomor 17/2011 tentang intelijen negara, mengatakan keamanan nasional terdiri dari 4 dimensi yaitu keamanan manusia, Kamtibmas, Kamdagri dan Pertahanan. Sehingga jelas pertahanan dan keamanan tidak dapat dipisahkan dalam membangun Indonesia yang adil dan berdaulat", jelas Rasminto.
Rasminto juga menekankan pentingnya Reformasi Polri dalam kerangka bangun trust building.
"Amat penting kondisi saat ini Polri membangun trust building dengan mengungkap kasus-kasus apapun ya jangan sekedar kasus yang jadi sorotan publik saja seperti kasus Sambo, jangan pernah merasa terjadi kemunduran karena bangun trust building bagian dari grand strategy 2005-2025 pada tahap pertama", kata Rasminto.
Rasminto juga meminta semua stakeholders non keamanan untuk mendukung akselerasi reformasi Polri.
"Reformasi Polri tidak bisa dibiarkan jadi tugas tanggungjawab Polri, kita juga punya peran tersebut, terlebih berkaitan dengan peraturan perundangan, dan juga lembaga-lembaga non keamanan di luar kepolisian juga harus membantu misalnya proses penyidikan dan proses penyelidikan judi online yang begitu rumitnya penelusuran pelaku dalam menggunakan rekening bank, maka perlu adanya reformasi dalam UU Perbankan agar ke depan dapat mempercepat pengungkapan kasus-kasus yang sama", tegas Rasminto.
Lebih lanjut, Rasminto memandang perlunya reformasi Polri menyentuh aspek kultural.
"Berkaitan aspek kultural, perlu dibangun kembali penguatan jati diri, doktrin, Tribrata, Catur Prasetya dan kode etik Polri sebagai bagian dari pemuliaan profesi Polri dimasa depan", kata Rasminto.
Rasminto juga menekankan perlunya redefinisi jati diri Polri dalam adaptasi sebagai polisi di negara demokrasi.
"Arah reformasi Polri kedepan, bagi institusi Polri samgat perlu melakukan redefinisi jati diri Polri dengan melalui demiliterisasi, bahwa Polri adalah sebagai polisi sipil, dan bukan bagian militer yang sifatnya militeristik yang hanya mengedepankan penanganan kasus-kasus hukum dengan senjata seperti yang dimiliki oleh militer", pungkas Rasminto.
Polri juga bagi Rasminto harus menghindari citra yang kental terhadap kepentingan politik praktis yang selama ini terbangun di masyarakat.
"Depolitisasi Polri sangat penting ya, agar citra Polri tidak lagi cenderung sebagai alat politik elit dan masuk dalam polarisasi politik-politik elit terlebih kita akan menghadapi pesta demokrasi pemilu serentak 2024, dengan demikian akan terbangun netralitas dan profesionalitas Polri yang akuntabel dan terpercaya", kata Rasminto.
Namun Rasminto pesimis reformasi Polri ini dapat terealisasi tanpa adanya kemauan dari anggota Polri sendiri.
"Jadi sebuah keniscayaan reformasi Polri ini dapat terealisasi jika tidak adanya kemauan (goodwill) dari seluruh anggota Polri untuk memperbaiki citranya dan alergi terhadap diksi reformasi Polri itu sendiri", kata Rasminto.
Rasminto juga sangat berharap visi misi Presisi Kapolri Jenderal Sigit jadi kunci arah reformasi Polri dan didukung oleh seluruh anggota Polri.
"Harapan masyarakat terhadap transformasi Polri sangat bergantung pada realisasi visi misi Presisi Kapolri Jenderal Sigit yang didukung oleh seluruh anggota Polri dengan mengedepankan kemampuan memprediksi situasi dan kondisi potensi gangguan Kamtibmas yang dapat diselesaikan dengan excellent bukan hanya sekedar jargon dalam ruang publik semata", pungkas Rasminto.