Morotainews.com - Jakarta - Dengan senantiasa mengharap ridho Allah SWT, kita semua berharap semoga kita semua dalam lindunganNya. Salam serta salawat kepada baginda Rasulullah SAW sebagai teladan kita semua. Melihat situasi bangsa dan negara yang kian carut marut karena Covid-19 yang juga belum pulih, bumi pertiwi yang masih menjerit karena pemerintah yang tidak sanggup mengurusi bangsa dengan baik. Presiden Joko Widodo masih gagal dalam pemenuhan hak-hak warga Indonesia. Kami Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) hendak menyampaikan respon sekaligus kritik dan gagasan terhadap kebijakan dan program pada pelbagai urusan dan bidang penyelenggaraan pemerintahan.
Pertama, Sengkarut penanganan Covid-19 dan ketiadaan kebijakan transisi. Alokasi anggaran dana Covid yang fantastis dipandang bersifat tidak transparan sehingga perlu untuk dibuka kepada public karena banyak indikasi terjadinya penyalahgunaan anggaran. Pemerintah Pusat dan daerah tidak terintegrasi terkait dengan data, baik dalam jumlah penderita maupun penyintas Covid-19. Belum lagi dalam tiap penyusunan dan pelaksanaannya rakyat dibuat panik dan kaget akan tiap kebijakan dan program baru. Pada masa Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), masyarakat merasa belum siap untuk isolasi mandiri sehingga muncul mulai dari panic buying alat kesehatan dan obat-obatan hingga kejadian represifitas meningkat untuk penertiban kegiatan masyarakat. Dalam konteks ketimpangan penyelenggaraan vaksinasi dan fasilitas kesehatan, prioritas pemerintah masih terpusat di Jawa dan Bali. Padahal realitanya selain di Jawa dan Bali yang memiliki angka kematian tertinggi seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Riau, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Selatan perlu juga mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Sertifikat vaksin menjadi masalah lain yang akan menjadi diskriminasi maupun hambatan administrasi publik mengingat masih belum merata akses terhadap vaksinasi. Dalam simpang siurnya data Covid-19 sebagaimana yang kita akses, data pemerintah bahkan menunjukkan trend covid-19 semakin meningkat hingga 3,3 Juta jiwa pada Juli 2021 yang berarti kebijakan yang telah pemerintah lakukan belum bisa disebut sebagai solusi untuk lepas dari belenggu Covid-19. PB HMI menilai Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional tidak bekerja sesuai dengan fungsinya.
Kedua, Pengkerdilan ruang sipil, ancaman terhadap kebebasan berpendapat dan kebebasan akademik. Kebebasan berpendapat dalam ruang digital menjadi sorotan khusus dimana saat ini terjadi pembatasan dan pengekangan dalam berbagai sektor/bidang. Salah satunya adalah melalui Peraturan Menteri Nomor 5 tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat. Pembuat konten/User Generated Content dirugikan tanpa kepastian dan kejelasan akan pelanggaran muatan konten. Definisi dari informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang “meresahkan masyarakat dan menganggu ketertiban” tidak diberikan penjelasan lebih lanjut ataupun pembuktian terbalik untuk mempertahankan dari penghapusan konten yang mendapat tuduhan/penghapusasn dari provider. Bersamaan dengan pembatasan semacam ini pemerintah juga menguatkan institusi kepolisian melalui pembentukan Polisi Siber berdasarkan pada Surat Edaran Kepala Polisi Republik Indonesia Nomor: SE/2/11/2021. Kinerja dan tujuan dari pembentukan Polisi Siber cenderung mengarah pada isu maupun konten yang berkenaan dengan kritik terhadap pemerintah. Pemberian peringatan/teguran melalui pesan langsung pada berbagai platform merupakan dapat berakhir pada usaha membatasi kebebasan sipil dalam mengemukakan pendapat. Terakhir baru-baru ini adalah ancaman terhadap kebebasan akademik yang diungkapkan oleh rekan-rekan mahasiswa di Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia pasca menyampaikan kritik sosial melalui penyebutan “lip service” juga termasuk ditangkapnya kader HMI di Ambon karena menyampaikan pendapat melalui media sosial. Pasca mengemukakan kritik, mereka mendapatkan serangan, dipidanakan dan tuduhan berikut dengan ancaman melalui peretasan hingga doxing.
Saat konferensi pers dan menyatakan pernyataan Sikap |
Ketiga, political will dan semangat anti korupsi yang semakin dipertanyakan. Publik menyaksikan pada periode kedua, komitmen anti korupsi dari Presiden Joko Widodo sangat dipertanyakan dan lemah. Transparency International Indonesia mengemukakan bahwa Indeks Perspesi Korupsi Indonesia menunjukkan penurunan dari 40/100 menjadi 37/100 untuk tahun 2020. Setidaknya ada tiga ranah yang menurut Transparency International Indonesia harus diperhatikan. Pertama, janji pemerintah dalam kemudahan berusaha, ekonomi, dan investasi mengalami stagnansi berikut masih perlu ditinjau aspek korupsi di dalamnya. Kedua, penegakan hukum dan perbaikan birokrasi terkait korupsi masih stagnan. Ketiga, kualitas pertanggungjawaban politik para aktor politik dan kualitas demokrasi perlu diperbaiki secara serius. Melalui pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menjadi gambaran serius kegagalan dan hilangnya komitmen anti-korupsi. KPK mengalami perubahan berdasarkan UU No Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam hal : kewenangan pemeriksaan (Pasal 46) yang harus tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; Kewenangan tertinggi di tangan Dewan Pengawas KPK dan kewenangan penggeledahan harus mendapat izin tertulis dari Dewan Pengawas (Pasal 47); berikut perubahan status pegawai KPK menjadi ASN (Pasal 24) yang secara tidak langsung menjadikan pegawai KPK di bawah pemerintah. Beberapa perubahan ini selama 2020 hingga saat ini berakibat pada kurangnya performa KPK dalam tangkap tangan, gagalnya menangkap Harun Masiku, dan kebocorankebocoran informasi KPK
Keempat, UU Cipta Kerja yang mengorbankan hak-hak buruh. UU Cipta kerja yang fenomenal saat ini telah dicatat sebagai Undang-Undang Nomor 11 tahun 2019. Janji UU Cipta Kerja adalah meningkatkan iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui pengurangan hyper regulasi berikut dengan penyederhanaan izin. Namun sebagai catatan bahwa UU ini bukalah obat mujarab yang dapat langsung menyelesaikan masalah-masalah investasi di Indonesia. World Economic Forum (2016) mencatat bahwa kendala penghalang investasi di Indonesia: korupsi yang menjadi kendala utama; inefisiensi birokrasi; kebijakan dan ketidakstabilan pemerintah ; dan infrastruktur yang tidak memadai. Tanpa ada perbaikan dalam bidang/isu semacam itu maka klaim untuk meningkatkan investasi akan sulit dan terhambat.
Dalam masa Covid-19 yang sangat sulit ini, UU Cipta Kerja justru membebani dan mengorbankan hak-hak buruh melalui berbagai aspek. Pasal 81 angka 15 mengubah pasal 59 UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan menyebutkan perihal pekerjaan yang “tidak terlalu lama”. Frasa ini berdampak pada ketidakpastian bagi Pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang menghapus waktu maksimal perjanjian kerja yakni, tiga tahun. UU Cipta Kerja juga tidak memberikan definisi dan batasan tentang Outsourcing. Hal ini berakibat pada tidak jelasnya hak pekerja untuk terhindar dari outsourcing. Catatan lain adalah kerentanan dalam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pasal 81 angka 42 menyebutkan alasan PHK karena pekerja/buruh cacat akibat kecelakaan kerja ataupun sakit berkepanjangan sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya melampaui batas 12 bulan. Sebagai perbandingan, Pada Pasal 172 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa buruh berhak mendapatkan dua kali pesangon apabila mengalami PHK karena sakit berkepanjangan melebihi 12 bulan.
Kelima, Pelanggaran hak asasi manusia dan rasisme. Sepanjang Covid-19 yang menghantam kondisi negara didesain dalam keadaan darurat. Pelanggaran terhadap hak asasi manusia (ham) terjadi dalam berbagai bidang. Kami mengamati dan mencatat bahwa kebebasan sipil serta berpendapat dan berekspresi sangat terbatasi selama 2020-2021. Mahasiswa, aktivis, jurnalis, akademisi dan masyarakat mengalami pembungkaman maupun intimidasi. Kasus Ravio Patra masih lekat dalam ingatan ketika diamankan oleh kepolisian karena menanyakan transparansi data Covid. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat terdapat 84 kasus kekerasan (Januari-Desember 2020) terhadap jurnalis. Catatan ini disebut AJI paling banyak sejak 10 tahun terakhir. Bentuk kekerasan antara lain: gugatan perdata; ancaman kekerasan/teror; mobilisasi massa/penyerangan kantor redaksi; pemidanaan/kriminalisasi; sensor/pelarangan pemberitaan; perusakan, perampasan alat/ data hasil liputan; dan kekerasan fisik. Sepanjang pandemi Covid19, keselamatan tenaga kesehatan juga berada dalam ancaman kesehatan karena kelelahan fisikmental juga Covid. Beban tenaga kesehatan juga berasal dari insentif dan gaji yang seringkali belum dibayarkan/ tertunda hingga berbulan-bulan.
Janji pemerintah untuk mengatasi dan membangun penyelesaian ham masa lalu dan ham juga tidak dilaksanakan dan justru mengarah pada pengabaian dan pembungkaman. Dalam kasus Trisakti, Semanggi 1 dan Semanggi 2, Jaksa Agung justru menyatakan bukan sebagai ham berat.
Pemerintah dapat dipandang tidak berkomitmen dalam menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Kasus pembunuhan aktivis ham Munir juga tidak diungkap dan dituntaskan.
Catatan lain adalah masih dirawatnya rasisme dan kekerasan pada Orang Asli Papua (OAP). Pada 2020 tercatat bahwa penangkapan sewenang-wenang dan kekerasan pada OAP di Papua karena pendekatan keamanan baik ketika momentum gejolak politik di papua maupun konflik pasca pembunuhan Kepala Badan Intelijen Daerah Papua. Pemerintah harus lebih berhati-hati dalam penggunaan pendekatan keamanan supaya tidak merawat kekerasan maupun stigmatisasi terhadap OAP sebagai pelaku kriminal maupun kelompok bersenjata. Baru-baru ini kekerasan terhadap OAP difabel terjadi di Kabupaten Merauke oleh dua anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara. Model kekerasan semacam ini bukan hanya sebuah penyiksaan yang biasa namun berbasis pada stigma maupun sikap rasisme kepada OAP. Di masa depan kejadian yang sama dapat muncul apabila terus diabaikan bukan sebagai kejadian rasisme namun hanya sebagai penganiayaan biasa.
Untuk menegaskan dan menguatkan catatan, kritik dan gagasan yang telah disampaikan. Kami hendak saran-saran penutup yang konstruktif, responsif juga taktis demi menciptakan iklim demokrasi yang lebih baik, penegakan hukum yang humanis, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia serta mengatasi krisis Covid yang telah berkepanjangan. Berikut poin-poin yang dimaksud:
KAMI MENDORONG: bahwa Pemerintah harus lebih bersimpati dan berempati terhadap penderitaan rakyat selama Pandemi. Penyelenggaraan pemerintahan harus mengedepankan keperihatinan juga sikap yang hati-hati dalam menyampaikan pendapat serta merespon keresahan. Keresahan kami jangan dijadikan bahan bercanda ataupun sebagai penghinaan. Kami hendak berpartisipasi aktif turut serta membangun peradaban Indonesia yang berkeadilan sosial bagi seluruh warga Nkegara.
KAMI MENEGASKAN: bagi pemerintah untuk segera memperbaiki sistem dan standar penanganan maupun pengelolaan ketertiban serta keamanan masyarakat selama Covid-19 supaya tidak terjadi ketakutan, kebingungan, ketidakpastian serta keresahan masyarakat. Kami menyadari bahwa adanya keterbatasan sumber daya selama Covid. Namun berikan masyarakat juga kepastian akan kebijakan transisi yang dapat mengakomodir secara merata kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
KAMI MEMINTA: Pemerintah untuk memberikan jaminan kebebasan di ruang publik bagi warga negara mengingat selama Covid. Hak untuk mengemukakan pendapat, berekspresi dan berkumpul merupakan hak-hak yang di jamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Kritik dan saran dari masyarakat bukanlah usaha menimbulkan instabilitas atau bahkan kejahatan. Usaha untuk menyampaikan pendapat merupakan pertimbangan juga partisipasi kami sebagai rakyat. Keberadaan instansi yang mengancam kebebasan kami seperti polisi siber ditindaklanjuti oleh pemerintah. UndangUndang No 11 tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) harus diamandemen mengingat telah menjadi senjata untuk memukul kebebasan juga merawat pemidanaan yang tidak adil. Segera revisi/cabut Peraturan Menteri Nomor 5 tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat yang membatasi ekspresi sebagai pengguna platform media elektronik maupun media sosial.
KAMI MEYAKINKAN: bahwa korupsi adalah penyakit dalam penyelenggaraan pemerintahan yang harus dimusnahkan. Segala program dan kebijakan pemerintah tidak akan merata dan memenuhi kebutuhan masyarakat secara optimal. Pemerintah harus mengedepankan semangat dan komitmen anti korupsi dengan secara aktif menguatkan kembali lembaga KPK. Dalam jangka panjang, pemerintah harus mempertimbangkan birokrasi yang bebas dari korupsi. Kedua, kemudahan berusaha, ekonomi dan investasi yang mengalami stagnansi harus dibebaskan dari korupsi. Ketiga, penguatan secara substantif merupakan usaha untuk mencegah birokrasi korup dan membangun pertanggungjawaban etis dan moral untuk politisi dan aktor politik.
KAMI MENEKANKAN: bahwa cita-cita peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi tidak serta merta hanya berorientasi pada penanganan hyper-regulasi melalui UU Cipta Kerja. Pemerintah harus melaksanakan juga reformasi secara holistik untuk birokrasi yang bebas korupsi; konsistensi penyelenggaran pemerintahan/kebijakan yang tidak berganti-ganti atau mudah berubah; dan infrastruktur yang cukup dan sesuai kebutuhan. Bersamaan dengan ini penguatan bisnis dan investasi juga harus membahagiakan dan menyejahterakan buruh. Dalam catatan kami, UU Cipta Kerja justru mengabaikan hak-hak buruh dalam upah, kepastian kontrak, perlindungan dari PHK, jam kerja dan pesangon. Kami menyarankan untuk kembali pada UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dibanding menggunakan UU Cipta Kerja. Kondisi ini mengingat bahwa UU Ketenagakerjaan lebih sesuai untuk melindungi buruh.
KAMI MENGHARAPKAN: bahwa hak asasi manusia adalah hak yang universal serta harus dimiliki oleh tiap manusia. Pemerintah sebagai pemangku kewajiban harus mengakui, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. Beragam kasus telah dipaparkan mulai dari hak-hak tenaga kesehatan, kebebasan berpendapat, hingga kasus diskriminasi dan rasisme terhadap OAP. Komitmen pemerintah Indonesia hampir dua tahun terakhir sangat memprihatikan dalam bidang hak asasi manusia. Dalam konteks pengelolaan dan pelayanan Covid, pemerintah sangat ditekankan untuk tidak menggunakan pendekatan keamanan juga kekerasan. Pendekatan semacam ini justru terus menimbulkan permasalahan dan penderitaan bagi masyarakat. Dalam pemenuhan hak-hak sipil politik, pemerintah harus segera melaksanakannya seperti menjamin kebebasan berpendapat juga melindungi masyarakat dari tindakan sewenang-sewenang. Untuk pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya, pemerintah tidak diwajibkan untuk segera mencapai suatu kualitas dan kondisi tertentu seperti pengetasan Covid-19. Namun sifat hak ekosob adalah pemenuhan yang berkelanjutan dimana masyarakat harus secara bertahap dan berkelanjutan memperoleh hak-haknya tanpa dibatasi karena alasan politis, ekonomi apalagi sosialagama.
Maka dari itu, Kami pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin beserta kabinetnya dianggap gagal dalam berbagai hal terutama poin-poin yang telah kami maksudkan diatas.